Situasi politik Indonesia saat ini diwarnai oleh beberapa perkembangan penting yang memicu perdebatan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan aktivis pro-demokrasi.​AP News
Revisi Undang-Undang Militer
Pada 20 Maret 2025, DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undan
g Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perubahan ini memungkinkan personel militer aktif untuk menduduki lebih banyak posisi sipil tanpa harus mengundurkan diri dari dinas militer. Posisi tersebut mencakup lembaga seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan, mengingatkan pada era Orde Baru di bawah Presiden Suharto. Meskipun pemerintah beralasan bahwa perubahan ini diperlukan untuk menghadapi tantangan geopolitik dan teknologi, berbagai kelompok hak asasi manusia dan aktivis pro-demokrasi mengkritik kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi ini.
Kebijakan Austeritas dan Pemotongan Anggaran
Presiden Prabowo Subianto telah menerapkan pemotongan anggaran signifikan di berbagai sektor publik untuk mendanai program ambisius seperti "Makan Siang Gratis" senilai $32 miliar dan mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 8%. Pemotongan ini mencakup pengurangan 24% pada pendidikan dasar, 39% pada pendidikan tinggi, 18,5% pada kesehatan, dan 73% pada pekerjaan umum. Akibatnya, terjadi pemutusan hubungan kerja dan gangguan serius dalam layanan publik. Pembentukan dana kekayaan negara, Danantara, yang mengendalikan perusahaan milik negara senilai $1,43 triliun tanpa audit negara, juga menimbulkan kekhawatiran akan peningkatan korupsi. Meskipun popularitas Presiden Prabowo tetap tinggi, kebijakan ini telah memicu protes dan ketidakpuasan di berbagai lapisan masyarakat.
Reaksi Publik dan Aktivis
Berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk Lembaga Bantuan Hukum dan Amnesty International Indonesia, mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah tersebut. Mereka menyoroti potensi ancaman terhadap demokrasi, transparansi, dan hak asasi manusia. Proses legislasi yang dianggap terburu-buru dan minim konsultasi publik semakin memperkuat kekhawatiran akan kembalinya praktik otoritarianisme
Post a Comment